Catatan oleh Yahya Cholil Staqup, mantan Juru Bicara Presiden Gus DurIni kehilangan tak terperi. Tapi diam-diam aku merasakannya seperti formalitas saja. Ketuk palu atas sesuatu yang telah ditetapkan sebelumnya.
Kehilangan yang sesungguhnya telah terjadi dua belas tahun yang lalu, ketika suatu hari kamar mandi kantor PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), di Kramat Raya Jakarta, tak kunjung terbuka. Kamar mandi itu terkunci dari dalam dan Gus Dur ada di dalamnya. Orang-orang menggedor-gedor pintu, tak ada sahutan. Ketika akhirnya pintu itu dijebol, orang mendapati Gus Dur tergeletak bersimbah darah muntahannya sendiri. Itulah stroke-nya yang pertama dan paling dahsyat, yang sungguh-sungguh merenggut kedigdayaan fisiknya.
Sebelum malapetaka itu, Gus Dur adalah sosok “pendekar” yang nyaris tak terkalahkan. Pada waktu itu, tak ada yang tak sepakat bahwa beliau adalah salah satu tumpuan harapan untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Tapi ketika akhirnya memperoleh kesempatan menakhodai bangsa ini, keruntuhan fisik telah membelenggu beliau sedemikian rupa sehingga gelombang pertempuran yang terlampau berat pun menggerusnya. Aku tak pernah berhenti percaya bahwa seandainya yang menjadi presiden waktu itu adalah Gus Dur sebelum sakit, pastilah hari ini Indonesia sudah punya wajah yang berbeda, wajah yang lebih cerah dan lebih bersinar harapannya.
Aku telah menjadi pengagum berat Gus Dur dan mendaulat diriku sendiri sebagai murid beliau sejak aku masih remaja. Tapi memang Gus Dur telampau besar untukku, sehingga aku tak pernah mampu menangkap secuil pemahaman yang berarti dari ilmunya, kecuali senantiasa terlongong-longong takjub oleh gagasan-gagasan dan tindakan-tindakannya.
Ketika datang kesempatan bagiku untuk benar-benar mendekat secara fisik dengan tokoh idolaku, yaitu saat aku ditunjuk sebagai salah seorang juru bicara presiden, saat itulah pengalaman-pengalaman besar kualami. Bukan karena aku melompat dari santri kendil menjadi pejabat negara. Bukan sorot kamera para wartawan, bukan pula ta’dhim pegawai-pegawai negeri. Tapi inspirasi-inspirasi yang berebutan menjubeli kepala dan dadaku dari penglihatanku atas langkah-langkah presidenku.
Sungguh, langkah-langkah Presiden Gus Dur waktu itu mengingatkanku kembali pada kitab DBR (Di Bawah Bendera Revolusi) yang kukhatamkan sewaktu kelas satu SMP dulu. Mengingatkanku pada “Nawaksara”, mengingatkanku pada “Revolusi belum selesai!”
Orang-orang mengecam kegemarannya berkeliling dunia, mengunjungi negara-negara yang dalam pandangan umum dianggap kurang relevan dengan kepentingan Indonesia. Namun aku justru melihat daftar negara-negara yang beliau kunjungi itu identik dengan daftar undangan Konferensi Asia-Afrika. Brasil mengekspor sekian ratus ribu ton kedelai ke Amerika setiap tahunnya, sedangkan kita mengimpor lebih separuh jumlah itu, dari Amerika pula. Maka presidenku datang ke Rio De Janeiro ingin membeli langsung kedelai dari sumbernya tanpa makelar Amerika.
Venezuela mengimpor seratus persen belanja rempah-rempahnya dari Rotterdam, sedangkan kita mengekspor seratus persen rempah-rempah ke sana. Maka presidenku menawari Hugo Chavez membeli rempah-rempah langsung dari kita. Gus Dur mengusulkan kepada Sultan Hasanal Bolkiah untuk membangun Islamic Financial Center di Brunei Darussalam, lalu melobi negara-negara Timur Tengah untuk mengalihkan duit mereka dari bank-bank di Singapura ke sana…
Barangkali pikiranku melompat serampangan. Tapi sungguh yang terbetik di benakku waktu itu adalah bahwa Gus Dur, presidenku, sedang menempuh jalan menuju cakrawala yang dicita-citakan pendahulunya, Pemimpin Besarku, Bung Karno. Yaitu mengejar kemerdekaan yang bukan hanya label, tapi kemerdekaan hakiki bagi manusia-manusia Indonesia. Yaitu bahwa masalah-masalah bangsa ini hanya bisa dituntaskan apabila berbagai ketidakadilan dalam tata dunia yang mapan pun dapat diatasi. Yaitu bahwa dalam perjuangan semesta itu harus tergalang kerjasama diantara bangsa-bangsa tertindas menghadapi bangsa-bangsa penindas.
Hanya saja, Gus Dur mengikhtiarkan perjuangan itu dengan caranya sendiri. Bukan dengan agitasi politik, bukan dengan machtsforming, tapi dengan langkah-langkah taktis yang substansial, cara-cara yang selama karir politiknya sendiri memang menjadi andalannya. Yang bagi banyak orang terlihat sebagai kontroversi, bagiku adalah cara cerdik beliau menyiasati pertarungan melawan kekuatan-kekuatan besar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, yang terlampau berat untuk ditabrak secara langsung dan terang-terangan. Gus Dur terhadap Bung Karno, bagiku layaknya Deng Xiao Ping terhadap Mao Tse Tung.
Tapi pahlawanku bertempur di tengah sakit, seperti Panglima Besar Soedirman di hutan-hutan gerilyanya. Maka nasib Diponegoro pun dicicipinya pula…
Banyak orang belakangan bertanya-tanya, mengapa orang tua yang sakit-sakitan itu tak mau berhenti saja, beristirahat menghemat umurnya, ketimbang ngotot seolah terus-menerus mencari-cari posisi di tengah silang-sengkarut dunia yang kian semrawut saja. Saksikanlah, wahai bangsaku, inilah orang yang terlalu mencintaimu, sehingga tak tahan walau sedetik pun meninggalkanmu. Inilah orang yang begitu yakin dan determined akan cita-citanya, sehingga rasa sakit macam apa pun tak akan bisa menghentikannya. Selama napas masih hilir-mudik di paru-parunya, selama detak masih berdenyut di jantungnya, selama hayat masih dikandung badannya.
Kini Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menyelimutkan kasih sayang paripurnanya untuk hambaNya yang mulia itu. Memperbolehkannya beristirahat dari dunia tempat ia mengais bekal akhiratnya. Semoga sesudah ini segera tercurah pula kasih sayang Allah untuk bangsa yang amat dicintainya ini, agar dapat beristirahat dari silang-sengkarut nestapa rakyatnya. Gus Durku, Bung Karnoku… Selamat jalan….
Kompas.
0 comments:
Posting Komentar